Meski ada di lokasi yang di kenal juga sebagai 'gudang' batu, tetapi beberapa perajin akik di Desa/Kecamatan Karangsambung Kebumen, malah 'nelangsa'. Mereka mengeluhkan perihal sulitnya memperoleh bahan baku disebabkan kalah berkompetisi dengan pencari bahan baku akik dari beragam daerah.
" Kami ini ibaratnya tikus yang mati di lumbung padi, walau ada di lokasi yang kaya batu alam, tetapi kami sendiri kesusahan bahan baku disebabkan serbuan orang luar daerah yang mencari bahan akik ke desa kami, " tutur Adi, perajin akik di Dukuh Krajan Desa Karangsambung, di tempat tinggalnya, Senin (30/03/2015).
Disibakkannya, satu tahun lebih lantas waktu belum berlangsung ledakan ketertarikan pada akik, di desanya cuma dua perajin akik yang aktif berproduksi, yakni dianya serta Bawon, tetangganya. Sedang beberapa puluh perajin lain yang disebut binaan Unit Pelaksana Tehnis (UPT) Balai Info serta Konservasi Kebumian Karangsambung (BIKKK) LIPI, mesti 'tiarap' disebabkan sulitnya pemasaran. Demikian nampak ledakan ketertarikan akik satu tahun paling akhir ini, beberapa perajin yang pasif berproduksi pada akhirnya bangkit tekuni kembali kegiatan pembuatan akik.
" Meski jumlah perajin nyaris meraih 50 orang, tetapi mereka semangat berproduksi lantaran semasing telah mempunyai pelanggan. Cuma saja masalahnya, kami mesti usaha keras mencari sendiri bahan baku di kawasan-kawasan yg tidak didatangi oleh beberapa orang luar daerah lantaran tempatnya susah dijangkau, " terang Adi.
Terkecuali permasalahan bahan baku, perajin juga kerap mengeluhkan harga jual akik mereka yang kerap ditawar sangatlah rendah oleh beberapa pedagang akik. Akik ginggang serta lumut umpamanya, cuma ditawar Rp 7. 500 hingga Rp 10. 000 per butir.
" Mereka pikir biaya produksi kami di Karangsambung sangatlah rendah, hingga tega menawar sangatlah murah, "